Dreams and Creativity

 

Never underestimate the power of your dreams. They may be the divine’s clues about your future. Even if they seem to be wild and bizarre, they may divulge potentials for your creativity in the real-world; you can take avail of them, well, provided that you care to spend some time reflecting on your dreams and try to relate them to your on-going attempts to be creative.

A chemist had been thinking hard about the right combination of a chemical chain. As he slept, a wild dream came to him: a snake pecking its own tail.  He woke up and  . . . eureka! . . . he found it! He figured that the chain should go back to its starting point, much like a snake biting its own tail.

Kreatif a la Efek Rumah Kaca

Kreatif, pada masa di mana selera menjadi seragam dan dangkal seperti jaman ini, kadang-kadang memerlukan keberanian untuk tampil beda. Saya kemarin membaca wawancara dengan band “Efek Rumah Kaca” (ERK), dan kagum melihat semangat tiga anak muda yang tidak takut tampil beda. Ketika band-band lain menjadi band Melayu (baca: “me-layu”) karena mengedepankan lirik cengeng dan pola musik yang nyaris sama, mereka tampil dengan mengusung warna musik yang lain dan ide yang jauh lebih penting: sikap kritis, tidak mau terjebak dalam zona nyaman, keprihatinan terhadap ekosistem, dan sejenisnya.

Tentu saja pertanyaan yang beberapa kali dilontarkan dalam wawancara itu adalah: apakah ERK tidak takut tidak kebagian segmen pasar, mengingat pasar sekarang sedang dibuat termehek-mehek oleh lirik romantis (baca: cengeng)? Jawaban mereka bagus sekali: justru kami yang datang untuk menciptakan pasar, bukan kami datang mencari pasar.

Kreativitas a la band ERK tersebut menyiratkan prinsip hidup yang jelas, keberanian untuk melawan arus utama /mainstream, dan keyakinan bahwa arus yang mereka ciptakan juga akan menarik fans tersendiri. Tentu masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk mencapainya. Kerja keras, cita rasa artistik dalam meramu lirik dengan melodi, kejelian melihat peluang, kegigihan, dan sebagainya. Namun keberanian untuk tidak menjadi sama dengan kompetitornya karena mereka menganut nilai yang berbeda sudah patut diacungi jempol.

Kreatif Membuat Search Engine untuk Blog

Jaman sekarang, banyak sekali blog bagus tentang pengembangan diri. Penulisnya kebanyakan adalah orang-orang biasa yang, sama seperti orang lain, bergulat dalam banyak pengalaman hidup, suka dan duka, tawa dan tangis. Bedanya, mereka mampu menangkap intisarinya, kemudian dengan lincah merajut pengalaman-pengalaman itu menjadi untaian tertulis yang mencerahkan.

Karena banyak sekali, blog-blog semacam ini cenderung tenggelam dalam banjir informasi. Supaya tidak mubazir, diperlukan sentuhan kreatif mengelolanya. Saya bukan ahli Information Technology, jadi saya tidak tahu bagaimana ide ini harus dilakukan secara teknis. Namun, saya punya bayangan adanya sebuah search engine yang mampu memadankan topik atau masalah seseorang dengan posting blog yang tepat. Jadi, misalnya saya sedang menghadapi masalah dengan motivasi, saya akan mengetikkan di kolom search nya: “bagaimana meningkatkan motivasi dari nol?”, dan mesin pencari itu akan dengan cepat menemukan posting blog yang memang berbicara tentang peningkatan motivasi.

Karena ranah targetnya adalah blog, programmernya bisa mengarahkan mesin pencari ini hanya untuk blog saja, bukan semua situs seperti yang dilakukan oleh Google atau Bing.

Kreativitas di Universitas: Layanan Kecakapan Interpersonal

Kreativitas adalah kejelian melihat peluang. Lihat pendidikan tinggi di negeri kita. Apa yang terasa kurang dan sangat sangat dibutuhkan oleh insan-insannya?

Pendidikan karakter. Pengembangan interpersonal skills. Kecakapan mengelola diri sehingga tidak patah di tengah jalan.

Banyak sekali orang muda dan pintar secara akademis yang berjuang keras menghadapi masalah-masalah itu. Jangan kata mahasiswa, ternyata dosen pun banyak yang mengalami masalah serupa. Nah, inilah peluang itu!

Kita bisa menawarkan layanan sebagai konsultan masalah kecakapan interpersonal. Tujuannya, mendampingi mereka untuk memberikan advis tentang bagaimana cara memaknai hidup, bagaimana membangun motivasi, bagaimana mengelola emosi, bagaimana memulihkan patah hati, bagaimana menndengarkan, bagaimana harus menerima diri apa adanya, bagaimana mengalahkan ego dan mengakui keunggulan orang lain, kapan harus bersabar, kapan harus charging like hell, dan sebagainya.

Kan sudah ada guru BP atau konselor universitas? Ya betul, tapi layanan kita ini jauh lebih proaktif daripada sekedar duduk di kantor menerima keluhan. Sebagai konsultan kecakapan interpersonal, kita rajin turun ke lapangan, mengadakan Focus Group Discussion, mengamati perilaku, mendengarkan keluhan, mengedarkan angket atau melakukan wawancara, dan mengadakan seminar atau workshop yang dikemas atraktif untuk menyajikan hasil segala pengamatan tersebut dan menawarkan solusinya.

Paket lebih intensif yang kita tawarkan akan berupa pendampingan pribadi untuk beberapa individu yang sedang sangat bermasalah. Sekian jam sehari kita habiskan untuk mendengarkan individu ini curhat masalahnya, membangkitkan semangat dan mencarikan solusinya, sedemikian sampai akhirnya dia pulih dan mampu berjuang kembali.

Lahan ini memerlukan ahli-ahli dan lulusan psikologi yang harus berpikir beyond the textbooks. Mereka harus berani menembus batasan buku teks dan mencoba sesuatu yang baru, yang lebih responsif dan akomodatif terhadap budaya lokal. Akan bagus sekali kalau bisa jadi dan efektif. Karena prasyaratnya sangat tinggi dan pekerjaannyapun memerlukan ketekunan dan kreativitas, sudah tentu harganya pun tidak murah. Tapi lepas dari biaya, bukankah ini suatu terobosan kreatif?

Kreativitas a la MURI: Kreativitas Nol Besar

Kue tart terbesar; martabak terpanjang; pohon Natal tertinggi; kue coklat terpanjang.

Demikianlah sering kita dengar berita pemecahan rekor oleh MURI (Museum Rekor Indonesia). Terlintas pertanyaan: nilai kreativitas apa yang ditawarkan oleh upaya-upaya semacam itu?

Jawabnya: NOL BESAR. Apalah artinya membuat penganan serba terbesar, terpanjang seperti itu? Disebut kreativitas pun jelas bukan, sebab seperti yang telah didefinisikan sebelumnya, kreativitas harus membawa perubahan PLUS nilai positif. Lha kalau hanya menghabiskan tepung, telur, mentega, coklat sampai beratus-ratus kilo hanya untuk membuat makanan serba ter seperti itu, apalah nilai manfaatnya?

Bahwa pemecahan rekor seperti itu membutuhkan upaya dan kerja sama yang luar biasa, ya memang. Tapi kan sebenarnya ada tindakan lain lebih positif yang juga membutuhkan upaya dan kerja sama yang luar biasa. Kalau upaya dan kerja sama yang luar biasa itu hanya membuahkan barang serba terpanjang atau terbesar, apalah artinya? Sekali lagi, nol besar.

Pemborosan. Itu jelas. “Ah, tidak juga,” kata yang yang membela. “kan makanan tersebut bisa dibagikan ke fakir miskin atau orang-orang lain yang bisa menikmatinya?”. Ah, ini pola pikir sudah bengkok pula. Tindakan seperti itu hanya menyuburkan cara hidup serba meminta, mengharapkan, mengungkapkan belas kasih superfisial yang tidak menukik pada akar permasalahan. Bagi yang sudah berpunya dan makan hasil-hasil rekor seperti itu, apa manfaatnya? Apa iya bisa berbangga dengan mengatakan “ah, aku sudah makan coklat terpanjang?”. So what gitu loh??!!

Maka sangat benarlah perkataan seorang Menteri yang baru-baru ini mengatakan bahwa upaya pemecahan rekor seperti itu hanya menegaskan kerendahdirian bangsa ini.

Barusan saya melihat kreativitas seorang mantan murid dengan pohon Natal yang dia susun dari pipa, kempyeng, dan barang-barang sejenisnya. Nah, ini baru contoh kreativitas yang betul. Tanpa menjadi pohon Natal raksasapun, pohon buatannya sudah melambangkan semangat recycling tanpa menanggalkan makna religiusnya.

Creativity in Vocabulary Class

When I was a sophomore, the Vocabulary class was mainly made up of one-way lecturing in which the lecturer explained a lot of difficult, low-frequency vocabulary from a thick textbook. All we did was listening to his lecture, noted down some points, and then completed the exercises.

How tedious!

With a little spice of creative spirit, a vocabulary class can be turned into a more exciting, challenging, fun and still enriching 100-minute session. Look, all you need to have is just a little bravery to step beyond what is typically done.

First, ask your students to find English words from their names. Thus, a student named “Stella”, for instance, would form “set”, “late”, “sell”. Once they have finished, they can show off their findings,and you as the teacher can explain those which you think will be important for them to remember.

Second, ask them to write some adjectives which best describe themselves, and then some other adjectives of a person which they dislike, and still some other adjectives of a personality which appeal to them. Thus, a student may write “friendly, calm, funny” to describe himself, write “grumpy,” “irritable” for the adjectives they dislike, and “kind,” “patient”, “funny” for those he likes. When the students begin showing their words, you as the teacher can enhance their knowledge by giving synonyms of those words, or explain the collocations of the words.

The list of creative teachniques may go endlessly. Creativity knows no boundary, indeed. But the point I am trying to make here is that with a creative teacher, a typically tedious class can become much more lively and engaging.

Kreatif Menghindari Global Warming

Kadang-kadang kreativitas muncul ketika kita terdesak oleh situasi yang kurang menguntungkan.

Pada jaman iklim kacau dan Bumi semakin panas ini, sementara berbagai bangsa di dunia sibuk berunding untuk menurunkan tingkat emisi karbondioksida, rakyat jelata menunggu dengan harap-harap cemas. Sebagian cuek, sebagian khawatir, tapi sebagian lagi seharusnya menjadi kreatif.

Mengapa tidak mendirikan usaha konsultan gaya hidup hijau? Tim konsultan bisa terdiri dari pakar lingkungan, pakar kesehatan, dan pakar arsitek, plus beberapa pembantu umum atau pendamping teknis. Jasa yang mereka tawarkan adalah memberikan saran dan pendampingan kepada rumah tangga untuk mengelola gaya hidupnya menjadi lebih ramah terhadap lingkungan. Tim ini bisa terjun langsung ke rumah-rumah, mengobservasi gaya hidup penghuninya, dan mulai merancang saran-saran sederhana tapi efektif untuk mengurangi gaya hidup boros energi. Mereka bisa memberikan contoh bagaimana memilah sampah, bagaimana mengatur penerangan, bagaimana mengatur tata letak ruang sehingga ruangan menjadi lebih sejuk tanpa harus mengandalkan AC. Kalau perlu, mereka bisa menghabiskan beberapa hari untuk secara intensif mendalami kebiasaan penghuninya dan lambat-laun membawa perubahan ke arah yang lebih sehat, hemat emisi, dan bijak dalam menggunakan sumber energi.

Kalau biayanya dipandang terlalu mahal, bisa ditanggung oleh beberapa rumah, atau satu RT sekalian. Yang jelas, kalau upaya ini bergulir, setidaknya satu lingkungan bisa lebih sehat, lebih hijau, lebih ramah lingkungan.

Setidaknya ini ide awal. Intinya adalah menggabungkan kreativitas dan semangat mengembangkan lingkungan hijau yang lebih ramah terhadap Bumi tercinta ini.

Kreatif Mengelola Pembelajaran di Kelas

Sebenarnya apa yang dipelajari murid ketika mengikuti kuliah di kelas?

Penelitian menunjukkan bahwa generasi muda sekarang pada umumnya mempunyai gaya belajar aktif, sensing, visual dan sequential. Aktif artinya mereka menyerap pelajaran dengan cara bertindak, melakukan sesuatu, mengumpulkan informasi dan mengolahnya sendiri; sensing artinya mereka belajar dari dakta dan fakta; visual  artinya mereka belajar dari materi yang dikonversi ke bentuk diagram atau gambar atau skema;  sequential artinya mereka memahami dengan mudah urutan materi pelajaran yang disajikan secara runtut, logis. Dengan konstelasi yang sedemikian, masih relevankah kuliah yang didominasi oleh penuturan dosen secara satu arah selama 100 menit di kelas? Rasanya tidak. Rasanya dosen perlu melakukan sesuatu yang lain, yang membuat kegiatan kuliah itu pas dengan kecenderungan belajar para muridnya.

Jadi, menyadari hal itu, saya sebagai dosen melakukan perombakan yang cukup radikal di kelas-kelas yang saya asuh. Ceramah satu arah saya batasi paling lama 40 menit pertama; setelah itu, saya akan memberikan waktu kepada para mahasiswa untuk mencari dan mendapatkan sumber belajar dari mana-mana, dari Internet, dari perpustakaan, dan dari buku yang mereka bawa. Kalau saya mengajar Translation, saya hanya mengatakan di awal: “silakan cari model essay yang kalian suka, kemudian garis bawahi kata-kata penting, camkan kata-kata tersebut sehingga menjadi bagian dari perbendaharaan kata-kata di benakmu; gunakan kata-kata itu pada kesempatan berikutnya untuk membuat terjemahan yang baik”. Kalau saya mengajar topik genre di mata kuliah Analisis Wacana, saya akan mengatakan : “cari sebuah genre argumentatif. Temukan bagian-bagiannya seperti penjelasan saya tadi; lalu buat sendiri sebuah argumentasi sesuai dengan pola itu.”

Para murid pun lantas bergerak membuka laptopnya, atau pergi ke perpustakaan, atau membuka bukunya, dan melakukan kegiatan seperti instruksi saya. Lima belas menit menjelang kelas berakhir, mereka kembali ke kelas dan menunjukkan hasil kerjanya kepada saya. Saya memberikan umpan balik berupa koreksi di beberapa bagian, atau tak jarang juga pujian untuk mereka yang menunjukkan karya yang bagus.

Dimensi visual terpenuhi oleh penjelasan saya di 40 menit pertama; dimensi sequential juga terpenuhi pada urutan materi yang logis, berurutan mulai dari definisi sampai contoh; dimensi aktif  dan sensing terpenuhi ketika para mahasiswa secara aktif mencari sumber belajar di luar kelas, mencamkan elemen-elemen yang vital, dan mencamkannya dalam pengetahuan mereka, kemudian ditambah dengan umpan balik dari dosennya di lima belas menit terakhir.

Lantas apa hubungannya dengan kreativitas?

Tulisan saya ini sendiri sudah sebuah contoh kreatif mengelola kelas. Saya tidak mau terjebak dalam pakem lama yang mengatakan bahwa 100 menit di kelas hanya melulu diisi dengan penjelasan satu arah dari saya sebagai dosen. Saya merancang sesuatu yang lain, plus nilai tambahan (ingat: kreativitas adalah merubah sesuatu yang lama plus membawa nilai tertentu) untuk membuat para mahasiswa merasakan betul apa yang dinamakan belajar.

Kreativitas pun juga tampak pada hasil karya para mahasiswa. Sebagian dari mahasiswa saya di kelas Business Correspondence melihat model surat bisnis yang bagus dan tak segan melakukan modifikasi pada hasil tugasnya untuk membuat surat itu bahkan jauh lebih mengesankan.