Sebenarnya apa yang dipelajari murid ketika mengikuti kuliah di kelas?
Penelitian menunjukkan bahwa generasi muda sekarang pada umumnya mempunyai gaya belajar aktif, sensing, visual dan sequential. Aktif artinya mereka menyerap pelajaran dengan cara bertindak, melakukan sesuatu, mengumpulkan informasi dan mengolahnya sendiri; sensing artinya mereka belajar dari dakta dan fakta; visual artinya mereka belajar dari materi yang dikonversi ke bentuk diagram atau gambar atau skema; sequential artinya mereka memahami dengan mudah urutan materi pelajaran yang disajikan secara runtut, logis. Dengan konstelasi yang sedemikian, masih relevankah kuliah yang didominasi oleh penuturan dosen secara satu arah selama 100 menit di kelas? Rasanya tidak. Rasanya dosen perlu melakukan sesuatu yang lain, yang membuat kegiatan kuliah itu pas dengan kecenderungan belajar para muridnya.
Jadi, menyadari hal itu, saya sebagai dosen melakukan perombakan yang cukup radikal di kelas-kelas yang saya asuh. Ceramah satu arah saya batasi paling lama 40 menit pertama; setelah itu, saya akan memberikan waktu kepada para mahasiswa untuk mencari dan mendapatkan sumber belajar dari mana-mana, dari Internet, dari perpustakaan, dan dari buku yang mereka bawa. Kalau saya mengajar Translation, saya hanya mengatakan di awal: “silakan cari model essay yang kalian suka, kemudian garis bawahi kata-kata penting, camkan kata-kata tersebut sehingga menjadi bagian dari perbendaharaan kata-kata di benakmu; gunakan kata-kata itu pada kesempatan berikutnya untuk membuat terjemahan yang baik”. Kalau saya mengajar topik genre di mata kuliah Analisis Wacana, saya akan mengatakan : “cari sebuah genre argumentatif. Temukan bagian-bagiannya seperti penjelasan saya tadi; lalu buat sendiri sebuah argumentasi sesuai dengan pola itu.”
Para murid pun lantas bergerak membuka laptopnya, atau pergi ke perpustakaan, atau membuka bukunya, dan melakukan kegiatan seperti instruksi saya. Lima belas menit menjelang kelas berakhir, mereka kembali ke kelas dan menunjukkan hasil kerjanya kepada saya. Saya memberikan umpan balik berupa koreksi di beberapa bagian, atau tak jarang juga pujian untuk mereka yang menunjukkan karya yang bagus.
Dimensi visual terpenuhi oleh penjelasan saya di 40 menit pertama; dimensi sequential juga terpenuhi pada urutan materi yang logis, berurutan mulai dari definisi sampai contoh; dimensi aktif dan sensing terpenuhi ketika para mahasiswa secara aktif mencari sumber belajar di luar kelas, mencamkan elemen-elemen yang vital, dan mencamkannya dalam pengetahuan mereka, kemudian ditambah dengan umpan balik dari dosennya di lima belas menit terakhir.
Lantas apa hubungannya dengan kreativitas?
Tulisan saya ini sendiri sudah sebuah contoh kreatif mengelola kelas. Saya tidak mau terjebak dalam pakem lama yang mengatakan bahwa 100 menit di kelas hanya melulu diisi dengan penjelasan satu arah dari saya sebagai dosen. Saya merancang sesuatu yang lain, plus nilai tambahan (ingat: kreativitas adalah merubah sesuatu yang lama plus membawa nilai tertentu) untuk membuat para mahasiswa merasakan betul apa yang dinamakan belajar.
Kreativitas pun juga tampak pada hasil karya para mahasiswa. Sebagian dari mahasiswa saya di kelas Business Correspondence melihat model surat bisnis yang bagus dan tak segan melakukan modifikasi pada hasil tugasnya untuk membuat surat itu bahkan jauh lebih mengesankan.